Rabu, 02 Mei 2012

DOAKU DIJAWAB TUHAN?

pertama-tama saya sampaikan bahwa memang isi blog ini bukanlah berisi kajian teologis melainkan "Catatan Harian seorang Fredik Masneno". menyambung tulisanku sebelumnya, yaitu pada bulan Desember 2011 'kisah perjalanan ke Merauke'. pada tanggal 10 Januari 2012, kembali aku berangkat ke Jakarta. aku masih ingin berlama-lama di Merauke karena masih banyak tugas yang harus ku selesaikan, tetapi di lain pihak, aku harus kembali ke Kutoarjo dimana Istri dan anak-anak sementara menumpang. Hal ini kulakukan karena aku harus hadir saat istriku uLTaH pada tgl. 16 Januari. Puji TUHAN, semuanya berjalan lancar. singkat cerita, akupun tiba dengan selamat di Kutoarjo setelah 2 hari di Jakarta. walaupun dalam suasana Tahun Baru yang menyenangkan, apa lagi istriku tercinta berulang tahun, hatiku tetap bergumul dalam kesedihan dan ketidakpastian. hal yang membuatku menangis ketika tiba di Merauke bulan desember lalu, yaitu istriku tidak mau kembali lagi ke sana. bahkan setiap kali, ketika aku mencoba untuk membicarakannya, pasti 'penyakit migrainnya' kambuh lagi. aku terus berdoa, 'jikalau mungkin, TUHAN izinkan, biarlah istriku mau berubah pikiran. tetapi jikalau tidak, aku serahkan hanya kepada-Mu.' aku yakin TUHAN telah sediakan tempat pelayanan yang terbaik. setelah merayakan uLTaH istri, aku masih punya kesempatan bersama mereka sekitar 3 minggu atau hampir sebulan. Aku bisa melihat anak-anak yang TUHAN anugrahkan bertumbuh dengan cepat, penuh tawa ria, senda gurau dan canda, seakan tidak ada masalah. itulah dunia mereka. teristimewa, Sekar, dia sudah terlihat lincah dan cerdas. dia mengalami perkembangan pesat selama mengikuti sekolah TK di sana. tanggal 10 Februari 2012, aku kemudian kembali lagi ke Jakarta untuk menlanjutkan penulisan Tesis. menulis dalam pergumulan "apakah istriku mau kembali ke Papua?'. ternyata TUHAN menjawab doaku. setelah 2 minggu aku berada di Jakarta, istriku menelpon bahwa ia mendapat sebuah mimpi yang aneh, yang didapatkan 3 kali berturut-turut. Dan mimpi itulah yang membuatnya mengambil kesimpulan bahwa "ternyata ia harus kembali ke Merauke". dalam hati aku berteriak "Puji TUHAN !" Namun pergumulanku belum selesai sampai di situ. Itulah mengapa dalam judul tulisan ini masuh dibubuhi tanda tanya (?). "DOAKU DIJAWAB TUHAN?" Aku masih berdoa lagi bagaimana kami bisa pulang ke Merauke? itu adalah pertanyaan istriku: "dari mana kita dapatkan biaya transportasinya?" Aku hanya menjawab: Kalau TUHAN izinkan kita kembali, pasti TUHAN sediakan semuanya. Maka saat ini kami masih bergumul dan berdoa untuk biaya transportasi bagi 4 orang. biaya tiket pesawat di saat-saat normal mencapai 2 hingga 3 Juta Rupiah perorang. apa lagi pada masa-masa liburan. berarti untuk tiket saja kami butuh Rp. 10 -12 juta. sedangkan jika kami menggunakan transportasi Kapal Laut, bisa mencapai Rp. 7-8 juta, tetapi lama perjalanan sekitar 3 Minggu, sementara tunjangan kami saat ini hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bagi para pembaca yang membaca tulisan ini, tolong doakan kami. kami tetap percaya bahwa TUHAN kita tidak pernah tinggal diam ketika kita berseru kepadanya. trimakasih untuk kunjungannya di blog ini dan juga untuk dukungan doanya. YHWH BLESS US Jakarta, 24 Maret 2012

KISAH PERJALANAN ke MERAUKE

Hari ini, 2 Desember 2011, kembali aku menapakkan langkahku di bumi Animha, Merauke. Sepanjang perjalanan di kepalaku terbayang banyak rencana yang harus kukerjakan setelah sekolahku STT Arastamar Merauke (STT-AM) Provinsi Papua dimana saya melayani, mendapat izin penyelenggaraan dari Kementrian Agama RI. Dari Kutoarjo ke Jakarta dengan KA. Kutojaya Utara tanggal 29 Nov 2011 dan tiba tanggal 30 November 2011. Setelah bermalam di Asrama Putra Program M.Th STT Setia Jakarta di Graha Yesyurun - Tangerang, esok harinya yaitu kemaren 1 Desember 2011 aku berangkat. Puji Tuhan, tiket sudah dibelikan jauh-jauh hari oleh ibu Mirjo Suripati. Seharusnya berangkat tanggal 1 Desember jam 23:30 WIB, namun karena ada perubahan jadwal menjadi jam 20:30 WIB. Dari asrama, tadinya pengen naik ojek biar cepat tapi karena koper yang kubawa agak berat (22 Kg), belum lagi tas ransel di belakang dan Laptop titipan teman di depan membuatku agak kesulitan. Dalam perjalanan keluar ke jalan raya untuk mencari ojek, ternyata ada taxi Blue Bird tepat di tugu perbatasan Jakarta-Banten. Setelah sepakat, akupun masuk ke dalam taxi dan berangkat melaui Jl. Peta Selatan, Kaliderses. Namun karena macet, aku usulkan kepada Pak Sopir untuk balik arah ke Jl. Dan Mogot, dengan tujuan jalan toll Cengkareng. Puji Tuhan seperti yang diperkirakan, perjalanan cukup lancar, walaupun pandangan mata selalu tertuju pada catatan argo taxi, mengingat dana agak terbatas. Setelah melapor kemudian aku menuju ke ruang tunggu di Gerbang F7 bandara Soeta-Cengkaren-Banten. Di situ aku bertemu dengan banyak penumpang tujuan Surabaya. Setelah duduk beberapa saat, teringat akan Laptop titipan teman tadi. “Coba aja” pikirku dalam hati, dan ternyata aku berhasil browsing internet (facebookan) dengan fasilitas wifi di bandara. Lima belas menit sebelum berangkat, ada pengumuman bahwa ‘route yang akan kita tempuh adalah Jakarta – Surabaya – Makassar – Merauke’. Semua calon penumpang merasa kaget karena belum pernah ada route yang demikian. Aku baru sadar ‘o… mungkin karena itu, jadwal penerbangan dimajukan dari jam 23:30 menjadi jam 20:30 WIB’. Bagiku tidak masalah karena lebih cepat berangkat jadi gak kelamaan nunggu, tapi bagi orang lain masalah, terutama penumpang tujuan Jayapura yang kebanyakan naik dari Makassar. Mereka mengeluh karena biasanya lebih cepat tiba karena route biasanya Makassar – Jayapura – Merauke, sekarang menjadi Makassar – Merauke – Jayapura. Ya, bagaimanapun kita para penumpang ikut sajalah apa kebijakan manajemen PT. Merpati Nusantara. Toh nanti sampai juga di tujuan masing-masing. Memang terkadang kita tidak siap menghadapi sebuah perubahan yang tiba-tiba, apalagi tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tapi mau bagimana lagi? Singkat cerita, tibalah aku di Merauke dengan cita-cita, harapan dan angan-angan yang telah terbayang di kepalaku. Pukul 06:30 WIT pesawat mendarat dengan aman di Bandara Moppah Merauke. Setelah ber-sms-an dengan rekan-rekan di Merauke, akhirnya aku dijemput oleh Ev. Alexander Talelu, salah satu staf di STT-AM Papua. Setibanya di kantor (Asrama Putri) Jl. Ampera V, No. 1, Merauke, aku langsung mencoba Laptop titipan teman yang aku bawa tadi. Sambil menunggu orangnya datang kami bercerita ria sembari mengaktifkan modem yang kubawa dari Jakarta. Ternyata berhasil walaupun loadingnya agak lambat. Dengan demikian, aku bisa mengupdate status FB-ku sebagai info bagi sahabat-sahabatku kalau aku telah tiba di Merauke dengan selamat. Setelah sarapan bersama, kami masih bercerita lagi tentang harapan-harapan dan rencana-rencana ke depan dengan semangat. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12:00 WIT. Lanjut lagi makan siang bersama, masih sambil berbincang-bincang. Karena begitu semangat, aku tidak merasa ngantuk walaupun semalam kurang tidur di pesawat. Makan siang pun berlalu tanpa terasa dan kini sudah pukul 14:00 WIT. Teman-teman (Om Parman, Pak Alex dan Istri, Tante Epelina Runesi) mulai beranjak satu-persatu ke tempat mereka masing-masing. Tinggallah aku sendiri di kantor (Asrama Putri) bersama beberapa anak asrama. Memang sejak memulai sekolah ini tahun 2005, aku tinggal di kantor. Setelah menikah tahun 2006, kami sekeluarga tinggal di kontrakan di Jl. Gang Aru, Kelurahan Mandala-Merauke. Sejak tahun 2009, aku mendapatkan beasiswa untuk program M.Div yang kini diupgrade menjadi Program M.Th di STT Setia Jakarta. Karena aku harus ke Jakarta selama tiga bulan dan setiap tiga bulan, artinya aku 3 bulan di Jakarta, 3 bulan di Merauke, maka keluargaku (Istriku Mulyarini serta kedua anakku Sekar dan Yafo) kembali tinggal di kantor. Sekarang sudah 2 setengah tahun keadaan ini berlangsung. Setiap 3 bulan ketika aku pulang dari Jakarta keluargaku menyambut dengan hangat dan mesra (begitu pula ketika melepasku ke Jakarta). Tetapi keadaan itu sekarang berubah berhubung istri dan anak-anakku kini tinggal di Kutoarjo. Pada akhir bulan Mei 2011 lalu kami sekeluarga berangkat ke Jakarta guna mengikuti Ujian Penjaminan Mutu (dulu Ujian Negara) di STT Setia Jakarta, karena sejak tamat tahun 2002 dan istriku tahun 2005, kami belum sempat mengikutinya. Setelah mengikuti Ujian Penjaminan Mutu, mereka tinggal bersama keluarga (berpindah-pindah) di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Kutoarjo sambil menuggu proses perkuliahanku selesai. Sekarangpun mereka belum ikut pulang ke Merauke karena mereka ingin menyaksikan wisudaku yang jika diizinkan Tuhan akan berlangsung pada Juni atau Juli 2012. Ketika memasuki kamar yang kami tempati, semua kenangan manis yang pernah terjadi seolah kembali terbuka di depanku. Tetapi rasanya ada yang hilang dari hidupku. Aku baru sadar, istri dan anak-anakku tidak ada untuk menyambutku seperti biasanya. Air mataku tak tertahankan. Aku menangis…..ingin rasanya berteriak tapi malu jika ketahuan anak-anak asrama dan tetangga. Aku merasakan kesedihan yang luar biasa karena aku merasa kehilangan orang-orang yang kucintai. Aku meratap sendirian di dalam kamar dan semua cita-cita, harapan dan angan-angan yang kubawa dari Jakarta seolah sirna. Aku menjadi 4 L (letih, lesu, lemas, lunglai). Ternyata kehadiran seorang istri sangat aku butuhkan dalam menjalankan tugas-tugasku ditambah tawa ria, senda gurau dari kedua buah hatiku. Aku seolah lupa diri, menangis bagaikan orang yang tidak berpengharapan. Tiba-tiba aku melihat ke kaca cermin di lemari pakaian dan seperti ada suara yang berkata dalam hatiku: “Fredik !!! kamu itu hamba siapa? Emangnya istri dan anak-anakmu sudah mati meninggalkanmu??? Kayak orang yang tidak berpengharapan aja…Mereka masih ada, walaupun jauh di sana. Walaupun jauh…mereka selalu mendoakanmu…percayalah mereka akan tetap mencintaimu karena kau adalah hamba-Ku”. Memang sebenarnya kesedihanku bukan sekadar karena mereka tidak bersamaku di Merauke saat ini, tetapi lebih disebabkan karena istriku sudah bulat tidak mau kembali lagi ke Merauke. Betapa tidak? Sekolah yang dengan susah payah dimulai pada tahun 2005, pada tanggal 8 Nov 2011 telah resmi mendapatkan Ijin Penyelenggaraan untuk Prodi S1 PAK dari Kementrian Agama RI., tetapi harus kami tinggalkan. Sebelumnya memang kami sudah sepakat untuk pindah setelah proses perizinan selesai, sehubungan dengan tawaran seorang rekan Hamba Tuhan untuk melayani di daerah lain, dengan catatan: ‘jika aku diizinkan oleh pimpinan pusat’ (Pdt. Dr. Matheus Mangentang, M.Th). Ternyata setelah dikonfirmasi, pimpinan pusat tidak mengizinkan aku untuk pindah, paling tidak tidak dalam kurun waktu 3 tahun ke depan. Saat diberitahukan kepada istriku, rupanya dia sudah tidak mau kembali lagi, dengan alasan demi kebaikan perkembangan dan masa depan anak-anak. Aku berusaha meyakinkan dia tetapi setiap kali aku membicarakan hal ini, penyakit migrainnya selalu kambuh. Artinya dia sudah berkeputusan bulat dan tidak mau berubah. Hal inilah yang membuat kesedihanku semakin menjadi. Aku terdiam di pembaringan dan sambil menangis aku berdoa: ”Aku mohon, ampuni aku Tuhan !!!! tolong aku untuk melewati masa sulit ini karena tanpa pertolongan-Mu aku tidak ada apa-apanya….ampuni aku Tuhan !!!!! jikalau mungkin, jamahlah hati istriku agar mau berubah pikiran, tapi jikalau tidak, jadilah menurut kehendak-Mu. Jagailah istri dan anak-anakku sebagaimana Engkau menjagaku… Ampuni aku Tuhan….Terimakasih Tuhan, Dalam nama Yesus aku berdoa. Amin”. Demikianlah sepenggal kisah dalam hidupku, semoga menjadi berkat bagi siapa saja yang membacanya. Merauke, 2 Desember 2011 Fredik Masneno

Semua Karena Anugerah

Namaku Fredik Masneno, dilahirkan tanggal 25 juli 1977, di sebuah desa nan permai, Tesbatan namanya. Sebuah desa di Kecamatan Amarasi, Kab. Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ayahku bernama Maxen Masneno, yang 'menurut info' meninggal bertepatan dengan PEMILU yaitu pada tanggal 2 Mei 1977, saat usiaku baru 07 bulan dalam kandungan alias belum lahir. hal ini pun baru saya ketahui setelah saya telusuri sejarah Pemilu di situs KPU. Sedangkan ibuku bernama Orpa Masneno (Reinnamah), yang mana saya ingat persis meninggal pada tanggal 4 Oktober 1996, saat saya duduk di bangku kelas 2 SMU Negeri 1 Kupang. Saya lahir dalam sebuah keluarga yang boleh dibilang 'unik'. Saya katakan unik karena saya adalah salah satu dari '17 orang saudara'. Memang akan panjang ceritanya dan akan dikemukakan pada kesempatan lain. Ini hanya sekedar informasi awal dari saya sebagai perkenalan sekaligus pengantar, bagi setiap pembaca yang berkenan masuk ke blog ini, bahkan untuk lebih memahami "masa kecil yang menyenangkan" selamat bergabung, kiranya mendapat berkat dari catatan hariankoe.

Senin, 23 April 2012


Masa Kecil Yang Menyenangkan


Masa Kecil Yang Menyenangkan

Sampai saat ini masih terbayang masa kecilku yang menyenangkan.  Sebagaimana anak-anak yang lain, saya tumbuh sebagai anak yang periang. Masih terbayang dimana suatu ketika saya dipanggul oleh seorang abang saya, berjalan dari Haumoro, kampung kami, menuju Haubesi, kampung nenek saya.  Sebuah perjalanan yang diiringi dengan nyanyian-nyanyian gerejawi. Ternyata kemudian saya ketahui sebagai perjalanan menghantar abang tiri saya yang saat itu ‘sakit’. Sebuah perjalanan yang menjadi babak baru dalam keluarga besar kami, yang saya sebut ‘keluarga unik’.  Rupanya abang tiri saya tersebut kemudian dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Jiwa Sumber Waras, Jakarta. Waktu itu dapat saya perkirakan pada tahun 1981 dimana usia saya sekitar 4 tahun. Itulah peristiwa terawal dari masa kecil saya yang dapat saya ingat.
Setelah itu semakin banyak hal yang dapat saya rekam dan dapat diingat kembali hingga saat ini. Oleh ibu, saya mulai diperkenalkan dengan orang-orang yang ada di sekitar saya, yaitu berturut-turut dari yang paling sulung, David Dominggus Abineno (Bu[1] Da’i), Marthareda Abineno (Susi[2] Eda), Athanasius Abineno (Bu Ath), Yafet Yohanis Masneno (Kak Ved), Gustaf Masneno (Kak Gus), Markus Masneno (Kak Ma’u, yang meninggal saat masih kecil), saya sendiri, Fredik Masneno (Frid) dan Welhelmina Abineno (Welly). 
Di rumah kami di Haumoro, saya tinggal bersama Ibu, Bu Ath, Welly dan Hendrik (ponakan yang hanya beda satu tahun dengan saya, putra Susi Eda), sedangkan Susi Eda sendiri sudah tinggal sendiri karena sudah menikah. Kak Yafet dan kak Gustaf, jarang bertemu kerena mereka tinggal di kampung yang berbeda. Kak Yafet di Tainbira, sedangkan kak Gustaf di Haubesi. 
Suatu ketika, saya dibawa ke rumah nenek di Haubesi. Di sanalah saya lebih dekat dengan kak Gustaf dan sepupu-sepupu saya yang sering datang ke rumah nenek.  Memang kakek saya, Ba’i[3] Saul Reinnamah dan Nenek Martha Reinnamah (nenek Nope) adalah orang yang cukup terpandang di kampung Haubesi. Mereka adalah Kakek dan Nenek dari pihak ibu saya. Ibu saya sendiri adalah anak Kedua dari lima bersaudara ( Om Melianus Nopenanu, Orpa Abineno (Reinnamah), ibu saya, Om Kefas Reinnamah, Mama Taroci Ismau (Reinnamah), dan Mama Lin Bidjae (Reinnamah) dan Om Markus Reinnamah).
Sejak saat itu, lebih banyak waktu kami dihabiskan di rumah nenek. Kami sering bermain sambil menunggu ibu, kakek & nenek atau kakak-kakak yang pergi ke ladang atau sawah hingga sore hari. Kadang-kadang kami menunggu dengan penuh kekhawatiran sambil menangis beramai-ramai di depan rumah (bagaikan koor) apabila senja datang dan mereka belum tiba. Di lain waktu, jika sudah malam, datang ibu menjemput saya pulang ke Haumoro.  Hal itu dilakukan berulang-ulang, namun lama-kelamaan saya lebih betah di rumah nenek sehingga tidak mau ikut pulang. 
Pengembaraan masa kecil semakin jauh ketika saya dibawa oleh kak Gustaf ke Tainbira (± 1,5 KM arah Timur dari Haubesi), tempat tinggal kak Yafet, namun ternyata Kak Yafet sendiri sudah pindah bersama Om Markus Reinnamah yang telah menjadi seorang anggota POLRI, di Oekabiti.  Di sana saya mulai berkenalan dengan keluarga besar dari pihak ayah. Ternyata saudara saya tidak hanya yang saya sebutkan di atas. Di Tainbira, ada lagi dua saudara tiri dari pihak ayah yaitu  Muhammad Nazir Masneno (Kak Nazir) dan  Nur Saadah Masneno (Kak Nur) yang mana, sepeninggal ibunya, mereka diasuh oleh Bibi Siti, yang lebih akrab saya penggil Mama Siti, Kakak perempuan almarhum ayah saya.  Sedangkan suaminya juga masih semarga, yaitu Paman Kamal Masneno (Abba Kamal). Bukan cuma itu, di kemudian hari saya juga mengetahui kalau Ayah saya itu anak ke-11 dari 12 bersaudara, sehingga dapat dibayangkan seberapa besar keluarga saya.
Kedatangan saya dengan Kak Gus disambut gembira oleh keluarga besar kami.  Awalnya, ketika kami masuk ke rumah, tidak ada seorangpun yang kami temui. Kami mengendap-endap masuk karena pintu dalam keadaan terbuka.  Tiba-tiba kami dikagetkan oleh kedatangan dua orang anak seusia kami.  Karena belum kenal, kami menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar yang ternyata adalah gudang.
Kedua anak itupun datang menemui kami dan pertemuan itu tak terelakkan lagi. Kamipun berkenalan. Yang satu perempuan, bernama Robi’a Masneno (Bi’a) dan yang lain Abdul Malik Masneno (Malik).  Mereka ini anak Pa’de Yaqub Masneno, abang ayah saya. Beliau sudah almarhum sedangkan istrinya bernama Mama Syamsiah Masneno. Ternyata kedua sepupu kami itu tidak sendirian. Mereka terdiri atas  Abdul Hadi, Fatimah, Mahmud, Gamaria, Ambarak, Rugaya, Abdul Syukur, Robi’a dan Malik.
Setelah berkenalan, kamipun bercanda ria layaknya anak-anak pada waktu itu.  Malam tiba dan kami menginap di rumah Aba Kamal.  Ternyata saya merasa asing dan ingin pulang. Tetapi kemudian dapat dibujuk dan dihibur oleh abang saya. Dan inilah suatu babak baru dalam hidup saya yang semakin jauh dari rumah.  (Bersambung)
  


[1]Bu = panggilan untuk abang atau  kakak laki-laki
[2]Susi = panggilang untuk kakak perempuan
[3]Sebutan untuk Kakek dalam bahasa Dawan

SELAMAT DATANG !

Salam sejahtera dan selamat datang bagi para pembaca yang kebetulan mampir di laman blog ini.

walaupun bersifat pribadi, saya berharap setiap orang yang masuk ke blog ini mendapatkan sesuatu yang bermanfaat.

selamat bergabung !

hormat saya

Fredik Masneno