Rabu, 02 Mei 2012

KISAH PERJALANAN ke MERAUKE

Hari ini, 2 Desember 2011, kembali aku menapakkan langkahku di bumi Animha, Merauke. Sepanjang perjalanan di kepalaku terbayang banyak rencana yang harus kukerjakan setelah sekolahku STT Arastamar Merauke (STT-AM) Provinsi Papua dimana saya melayani, mendapat izin penyelenggaraan dari Kementrian Agama RI. Dari Kutoarjo ke Jakarta dengan KA. Kutojaya Utara tanggal 29 Nov 2011 dan tiba tanggal 30 November 2011. Setelah bermalam di Asrama Putra Program M.Th STT Setia Jakarta di Graha Yesyurun - Tangerang, esok harinya yaitu kemaren 1 Desember 2011 aku berangkat. Puji Tuhan, tiket sudah dibelikan jauh-jauh hari oleh ibu Mirjo Suripati. Seharusnya berangkat tanggal 1 Desember jam 23:30 WIB, namun karena ada perubahan jadwal menjadi jam 20:30 WIB. Dari asrama, tadinya pengen naik ojek biar cepat tapi karena koper yang kubawa agak berat (22 Kg), belum lagi tas ransel di belakang dan Laptop titipan teman di depan membuatku agak kesulitan. Dalam perjalanan keluar ke jalan raya untuk mencari ojek, ternyata ada taxi Blue Bird tepat di tugu perbatasan Jakarta-Banten. Setelah sepakat, akupun masuk ke dalam taxi dan berangkat melaui Jl. Peta Selatan, Kaliderses. Namun karena macet, aku usulkan kepada Pak Sopir untuk balik arah ke Jl. Dan Mogot, dengan tujuan jalan toll Cengkareng. Puji Tuhan seperti yang diperkirakan, perjalanan cukup lancar, walaupun pandangan mata selalu tertuju pada catatan argo taxi, mengingat dana agak terbatas. Setelah melapor kemudian aku menuju ke ruang tunggu di Gerbang F7 bandara Soeta-Cengkaren-Banten. Di situ aku bertemu dengan banyak penumpang tujuan Surabaya. Setelah duduk beberapa saat, teringat akan Laptop titipan teman tadi. “Coba aja” pikirku dalam hati, dan ternyata aku berhasil browsing internet (facebookan) dengan fasilitas wifi di bandara. Lima belas menit sebelum berangkat, ada pengumuman bahwa ‘route yang akan kita tempuh adalah Jakarta – Surabaya – Makassar – Merauke’. Semua calon penumpang merasa kaget karena belum pernah ada route yang demikian. Aku baru sadar ‘o… mungkin karena itu, jadwal penerbangan dimajukan dari jam 23:30 menjadi jam 20:30 WIB’. Bagiku tidak masalah karena lebih cepat berangkat jadi gak kelamaan nunggu, tapi bagi orang lain masalah, terutama penumpang tujuan Jayapura yang kebanyakan naik dari Makassar. Mereka mengeluh karena biasanya lebih cepat tiba karena route biasanya Makassar – Jayapura – Merauke, sekarang menjadi Makassar – Merauke – Jayapura. Ya, bagaimanapun kita para penumpang ikut sajalah apa kebijakan manajemen PT. Merpati Nusantara. Toh nanti sampai juga di tujuan masing-masing. Memang terkadang kita tidak siap menghadapi sebuah perubahan yang tiba-tiba, apalagi tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tapi mau bagimana lagi? Singkat cerita, tibalah aku di Merauke dengan cita-cita, harapan dan angan-angan yang telah terbayang di kepalaku. Pukul 06:30 WIT pesawat mendarat dengan aman di Bandara Moppah Merauke. Setelah ber-sms-an dengan rekan-rekan di Merauke, akhirnya aku dijemput oleh Ev. Alexander Talelu, salah satu staf di STT-AM Papua. Setibanya di kantor (Asrama Putri) Jl. Ampera V, No. 1, Merauke, aku langsung mencoba Laptop titipan teman yang aku bawa tadi. Sambil menunggu orangnya datang kami bercerita ria sembari mengaktifkan modem yang kubawa dari Jakarta. Ternyata berhasil walaupun loadingnya agak lambat. Dengan demikian, aku bisa mengupdate status FB-ku sebagai info bagi sahabat-sahabatku kalau aku telah tiba di Merauke dengan selamat. Setelah sarapan bersama, kami masih bercerita lagi tentang harapan-harapan dan rencana-rencana ke depan dengan semangat. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12:00 WIT. Lanjut lagi makan siang bersama, masih sambil berbincang-bincang. Karena begitu semangat, aku tidak merasa ngantuk walaupun semalam kurang tidur di pesawat. Makan siang pun berlalu tanpa terasa dan kini sudah pukul 14:00 WIT. Teman-teman (Om Parman, Pak Alex dan Istri, Tante Epelina Runesi) mulai beranjak satu-persatu ke tempat mereka masing-masing. Tinggallah aku sendiri di kantor (Asrama Putri) bersama beberapa anak asrama. Memang sejak memulai sekolah ini tahun 2005, aku tinggal di kantor. Setelah menikah tahun 2006, kami sekeluarga tinggal di kontrakan di Jl. Gang Aru, Kelurahan Mandala-Merauke. Sejak tahun 2009, aku mendapatkan beasiswa untuk program M.Div yang kini diupgrade menjadi Program M.Th di STT Setia Jakarta. Karena aku harus ke Jakarta selama tiga bulan dan setiap tiga bulan, artinya aku 3 bulan di Jakarta, 3 bulan di Merauke, maka keluargaku (Istriku Mulyarini serta kedua anakku Sekar dan Yafo) kembali tinggal di kantor. Sekarang sudah 2 setengah tahun keadaan ini berlangsung. Setiap 3 bulan ketika aku pulang dari Jakarta keluargaku menyambut dengan hangat dan mesra (begitu pula ketika melepasku ke Jakarta). Tetapi keadaan itu sekarang berubah berhubung istri dan anak-anakku kini tinggal di Kutoarjo. Pada akhir bulan Mei 2011 lalu kami sekeluarga berangkat ke Jakarta guna mengikuti Ujian Penjaminan Mutu (dulu Ujian Negara) di STT Setia Jakarta, karena sejak tamat tahun 2002 dan istriku tahun 2005, kami belum sempat mengikutinya. Setelah mengikuti Ujian Penjaminan Mutu, mereka tinggal bersama keluarga (berpindah-pindah) di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Kutoarjo sambil menuggu proses perkuliahanku selesai. Sekarangpun mereka belum ikut pulang ke Merauke karena mereka ingin menyaksikan wisudaku yang jika diizinkan Tuhan akan berlangsung pada Juni atau Juli 2012. Ketika memasuki kamar yang kami tempati, semua kenangan manis yang pernah terjadi seolah kembali terbuka di depanku. Tetapi rasanya ada yang hilang dari hidupku. Aku baru sadar, istri dan anak-anakku tidak ada untuk menyambutku seperti biasanya. Air mataku tak tertahankan. Aku menangis…..ingin rasanya berteriak tapi malu jika ketahuan anak-anak asrama dan tetangga. Aku merasakan kesedihan yang luar biasa karena aku merasa kehilangan orang-orang yang kucintai. Aku meratap sendirian di dalam kamar dan semua cita-cita, harapan dan angan-angan yang kubawa dari Jakarta seolah sirna. Aku menjadi 4 L (letih, lesu, lemas, lunglai). Ternyata kehadiran seorang istri sangat aku butuhkan dalam menjalankan tugas-tugasku ditambah tawa ria, senda gurau dari kedua buah hatiku. Aku seolah lupa diri, menangis bagaikan orang yang tidak berpengharapan. Tiba-tiba aku melihat ke kaca cermin di lemari pakaian dan seperti ada suara yang berkata dalam hatiku: “Fredik !!! kamu itu hamba siapa? Emangnya istri dan anak-anakmu sudah mati meninggalkanmu??? Kayak orang yang tidak berpengharapan aja…Mereka masih ada, walaupun jauh di sana. Walaupun jauh…mereka selalu mendoakanmu…percayalah mereka akan tetap mencintaimu karena kau adalah hamba-Ku”. Memang sebenarnya kesedihanku bukan sekadar karena mereka tidak bersamaku di Merauke saat ini, tetapi lebih disebabkan karena istriku sudah bulat tidak mau kembali lagi ke Merauke. Betapa tidak? Sekolah yang dengan susah payah dimulai pada tahun 2005, pada tanggal 8 Nov 2011 telah resmi mendapatkan Ijin Penyelenggaraan untuk Prodi S1 PAK dari Kementrian Agama RI., tetapi harus kami tinggalkan. Sebelumnya memang kami sudah sepakat untuk pindah setelah proses perizinan selesai, sehubungan dengan tawaran seorang rekan Hamba Tuhan untuk melayani di daerah lain, dengan catatan: ‘jika aku diizinkan oleh pimpinan pusat’ (Pdt. Dr. Matheus Mangentang, M.Th). Ternyata setelah dikonfirmasi, pimpinan pusat tidak mengizinkan aku untuk pindah, paling tidak tidak dalam kurun waktu 3 tahun ke depan. Saat diberitahukan kepada istriku, rupanya dia sudah tidak mau kembali lagi, dengan alasan demi kebaikan perkembangan dan masa depan anak-anak. Aku berusaha meyakinkan dia tetapi setiap kali aku membicarakan hal ini, penyakit migrainnya selalu kambuh. Artinya dia sudah berkeputusan bulat dan tidak mau berubah. Hal inilah yang membuat kesedihanku semakin menjadi. Aku terdiam di pembaringan dan sambil menangis aku berdoa: ”Aku mohon, ampuni aku Tuhan !!!! tolong aku untuk melewati masa sulit ini karena tanpa pertolongan-Mu aku tidak ada apa-apanya….ampuni aku Tuhan !!!!! jikalau mungkin, jamahlah hati istriku agar mau berubah pikiran, tapi jikalau tidak, jadilah menurut kehendak-Mu. Jagailah istri dan anak-anakku sebagaimana Engkau menjagaku… Ampuni aku Tuhan….Terimakasih Tuhan, Dalam nama Yesus aku berdoa. Amin”. Demikianlah sepenggal kisah dalam hidupku, semoga menjadi berkat bagi siapa saja yang membacanya. Merauke, 2 Desember 2011 Fredik Masneno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar